Senin, 14 Juli 2014

Mengenal Diri

Waktu itu begitu cepat tanpa disadari sudah melewati 20'an tahun perjalanan saya di dunia. Tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak dan kini dewasa. Perjalanan panjang ini membentuk saya menjadi seorang pribadi dengan beragam karakter, yang dibentuk oleh waktu dan pengalaman hidup.

Pada bulan Januari 1992, saya bayi perempuan pertama yang lahir dari keluarga baru yang mendambakan anak selama kurang lebih 3 tahun pernikahan. Anak yang mungkin paling dinanti oleh pasangan suami istri, beliau adalah ayah dan ibu saya. Ayah saya seorang wiraswasta dan ibu saya seorang guru.

Tumbuh menjadi seorang anak perempuan kecil dari mulai TK hingga SD. Anak perempuan polos tetapi cengeng, yang masih suka bermain dengan teman sebaya, walau sebenarnya saya tidak terlalu banyak teman.

Memasuki SMP saya anak pendiam dan pemalu, mempunyai teman tapi hanya teman sekolah karena tidak memiliki teman dilingkungan rumah maka semasa SMP saya adalah anak rumahan yang banyak melakukan kegiatan dirumah, salah satunya belajar, menonton tv, membantu ibu melakukan pekerjaan rumah dsb.


Waktu awal masuk SMA saya juga masih membentuk karakter yang tidak begitu suka bergaul dengan banyak orang, saya selalu membatasi diri karena satu hal dari masalah keluarga (orangtua). Jika ada teman laki-laki yang mau main kerumah saya selalu memberi banyak alasan, hingga setelah kelas 2 SMA saya mulai bergaul. Di SMA saya dikenal teman-teman seangkatan sebagai "cewek sombong", heem.. tidak tahu ya kenapa bisa demikian, namun memang semasa SMA dulu saya lebih banyak dikenal orang dan disapa teman tapi saya sendiri tidak tahu namanya siapa, dia kelas berapa, rumahnya dimana dan anak siapa.

Memasuki kuliah, tinggal bersama keluarga (ayah). Dengan pola kehidupan yang sangat berbeda dengan dirumah orangtua, disini saya harus terbiasa dengan kondisi lingkungan, suasana, aturan semua harus saya adaptasikan ke diri. Dengan keadaan yang demikian karakter saya yang dulu lebih menutup diri semakin menutup diri, melakukan dan mengatasi segala sesuatu sendiri, lebih banyak memendam daripada berbicara, hingga saya lebih bisa mencurahkan segala yang saya rasakan dan pikirkan dengan menulis.


Bertahun-tahun lamanya hingga saya lulus kuliah, sedikit demi sedikit karakter itu mulai berubah. Ketika saya memasuki dunia kerja sebagai tentor dan mulai berinterkasi dengan banyak orang, perlahan karakter ini mulai terarah. Kapan saya diam, dengan siapa saya harus banyak berbicara, apa saja yang harus saya ceritakan dan ungkapkan, dan bagaimana saya bersikap.

Semua karakter yang saya miliki mengikuti aliran waktu dan pengalaman hidup. Setiap orang memiliki karakter yang berbeda dan pembentukan karakter itu dipengaruhi oleh lingkungan terutama keluarga. Anak merekam apa saja, dan anak menilai dari apa yang di lihat dan di dengar, ketika anak mulai bisa menilai namun apa yang ingin disampaikan tidak bisa diungkapkan maka karakter anak akan terbentuk ketika anak mulai berfikir dan memendam segalanya.



Berubah dan mengubah sesuatu itu memang tidak mudah. Saya hanya MAU belajar belajar belajar dan terus belajar. I'm not perfect but I could be the best person.



Sabtu, 05 Juli 2014

Pertanyaan

Kesekian kalinya orang lain menanyakan tentang status sosial dan strata pendidikan kami. Pertanyaan ini yang dulu sering saya lontarkan dan diskusikan dengan orang lain baik teman, kerabat maupun keluarga, sekarang berbalik orang lain yang bertanya duluan mengenai seorang "ia" kepada saya.

Pertanyaan pertama, "Apa yang kamu nilai dari seorang "ia" sih, sehingga kamu tertarik dengannya (kita bukan bicara fisik ya)?. Tersenyum dan menjawab..... "Dari dulu hingga sekarang saya melihat value dan potensi yang ia miliki berbeda dengan laki-laki yang pernah saya temui sebelumnya."
Pertanyaan kedua, "Heem... bukannya ia hanya lulusan SMA dan kamu S1, apa tidak takut dengan pandangan orang ?". Saya menjawab, "Memang dulu saya sempat tidak yakin dan pernah 3-5 bulan meragukan apa yang dirasa dan dijalani, selalu menuntut dan memaksa apa yang saya inginkan. Setelah itu, saya lelah sendiri kemudian berpikir kembali kenapa saya harus memaksa ketika itu tidak mengubah apapun dalam hubungan kami, ia masih tetap dengan pandangannya dan ia pun punya pilihan. Saya hanya menjalani dan berencana, tentang hasil dan keputusan Tuhan yang lebih tahu".
Pertanyaan ketiga "Lalu bagaimana pendapat keluarga terutama orangtua?". Saya menjawab, "Orangtua memang meragukan karena orangtua selalu ingin yang terbaik bagi anaknya terutama anak perempuan, selalu ingin mendapat yang sepadan dan tidak salah pilih".

Kemudian, saya balik bertanya "Lalu, apa yang anda nilai juga dari sosok ia, apakah setuju ?". "Ia sudah seperti adik sendiri, selama aku kenal ia adalah laki-laki yang pantang menyerang dan bertanggungjawab, jika ia pemalas aku tidak akan setuju jika kamu memilih ia, karena hubungan ini yang menjalani kalian, oranglain hanya bisa berbicara, jadi yang lebih tahu apa yang terbaik bagi kalian adalah kalian sendiri".

Diakhir obrolan "Apa siap nikah muda ?". Saya menjawab, "Ketika memang sudah waktunya untuk saya menikah, kenapa tidak.. Artinya Tuhan telah memberi saya jodoh." Pernyataan lagi "Iya, kenapa takut.. justru segeralah... ketika menikah rejeki kalian pasti dipermudah, jangan takut, jika terlalu lama pacaran dan malah tidak jadi menikah, lebih sakit".
Saya tersenyum... dan lagi-lagi tersenyum.


Dalam doa selalu memohon agar "ia" diberi kelapangan pikiran untuk mempertimbangkan apa yang pernah saya minta dulu, saya selalu berusaha mendukung apa yang ia lakukan walau di dalam hati kecil terus berharap ia akan mewujudkan keinginan yang tertunda yaitu "sekolah".


Terimakasih Obrolan Sore Ini.