Rabu, 09 Desember 2015

DIALOG

Siang hari Lunch di Resto


L = Aku mau gambar sesuatu ya.
A = Apa ??? Iya boleh...
L = Denah rumah.
A = Iya pokoknya digambarkan selengkap mungkin.
L = Aku maunya begini, yang penting halaman belakang rumah luuuuuuaaaaass….. untuk aku bertanam, aku ingin punya kebun, trus disini khusus untuk tanaman A, B, C, D dst ya. “menulis dengan lengkap denah dan nama tanamannya”.
A = Iya, nanti pagar rumahnya dari tanaman aja ya, tanamannya di potong dan dibentuk     rapi.    
L = Aku mau punya ruang sholat juga, kamar tidurnya 4-5 ruang, di kamar kita harus ada kamar mandi dalam. Trus dapurnya harus besar ya, biar enak kalo masak dan bikin kue.
A = Iyaa… pokoknya ditulis lengkap.
L = Aku mau punya saung dihalaman belakang rumah, biar bisa santai dengan keluarga.
A = Iya…. Ada kolam ikannya juga boleh.
L = Aku juga mau punya garasi mobil, trus mau bikin perpustakaan kecil untuk ruang membaca anak-anak
A = Iyaaaaaaaaa……. “sambil menyimak omongan dan melihat hasil gambar”.


Obrolan orang pacaran kurang lebih seperti diatas, mungkin sederhana tapi dari obrolan ini membuat hubungan lebih dinamis, seakan punya harapan akan hidup bersama.


Suatu Malam….

L = Back to home ???
A = Yuks…
Di tengah perjalanan
A = Makan dulu yaa…
L = Hehe, ayok mauuu… laper nih.
A = Makan ditempat biasa ya beb, di GOR Klebengan.
L = Oke
Tiba ditempat makan dan langsung ke kedai untuk pesan makanan.
L = Oseng Ayam kayak biasa dan bebeb apa ???
A = Lele bakar deh.
Pesanan pun datang, yang duluan datang Oseng Ayam, sedangkan Lelenya masih nunggu dibakar.
L = Bebeb mau ???
A = Nggak ah ntar aja.
L = Kalau disuapin mesti mau, sini…. Nih… tu kan mau.
A = hehehehe


Bilang "tidak" tapi inginnya "iya", hehehe biasa kan dalam pacaran. So everything the colorfull more.

Jumat, 13 Maret 2015

Mental Box

Banyak orang yang menganggap ia stagnan dalam sesuatu, beranggapan jika itu adalah "final" dalam hidupnya, tanpa mencoba mengubah melainkan menganggap jika itu adalah "takdir".

Apakah yang dimaksud ?

Jika seseorang menyakini sesuatu, misalnya tentang sesuatu yang sebenarnya bisa dipelajari : "Saya dari dulu benci pelajaran Matematika, saya tidak bisa berbahasa Inggris, saya tidak bisa naik sepeda, saya bukan orang yang pintar memasak dsb", bukannya mencoba dan belajar tapi membatasi diri bahwa "saya tidak bisa". Padahal, penolakan dari kata "TIDAK BISA" adalah mindset negatif yang dipelihara oleh seseorang sehingga ia membuat sugesti sendiri bahwa saya memang tidak bisa, tidak bisa ditawar lagi dan ini adalah harga mati.
Hal diatas adalah problema sepele yang tertanam subur di mindset kebanyakan orang. Iya, bukan ?
Begitu pula dalam hidup. Banyak orang yang menyakini sesuatu yang sudah jelas itu adalah hal yang sia-sia. Sehingga tidak jarang mereka terbelenggu dengan hal yang stagnan dan lama-kelamaan hilang percaya diri "lost self confidence". Percaya diri yang menurun dapat menimbulkan ketakutan, takut salah, takut tidak bisa, takut tidak disenangi orang, takut dimarahi, bahkan mungkin beranggapan takut tidak menikah,hehe.. Dan ini adalah mental box. Mental adalah sesuatu yang abstrak yang berhubungan dengan aktifitas batin , dan cara berfikir serta berperasaan. Jadi, mental box cenderung bagaimana persepsi seseorang serta penanganan seseorang dalam menyikapi masalahnya.


Bagaimana cara mengatasi ?

Pertama, ubah mindset perlahan. Dan setiap ada masalah yakini "Jika saya BISA".
Kedua, lakukan apa yang ingin dilakukan, mulailah dari hal terkecil.
Ketiga, jadikan perubahan itu menjadi kebiasaan.
Keempat, setelah terbiasa maka akan benar-benar BISA.

Mari sama-sama belajar, penulis pun mengharapkan diri lebih baik agar tidak memelihara mental box, dan menjadikan diri memiliki mental berani dan mencoba belajar. 


Selamat Pagi..

Kamis, 09 Oktober 2014

Ayah Bibit dan Ibu Bumi

Manusia adalah makhluk hidup yang tercipta dari tanah. Dalam pendangan agama demikian, kita tercipta dari tanah dan setelah kembali akan menjadi tanah lagi. Manusia terbentuk setelah tejadinya proses perkawinan atau proses fertilisasi dari mulai zigot kemudian embrio kemudian janin dan akhirnya terlahir menjadi seorang bayi atau mungkin lebih dari satu bayi (kembar). Yah.. begitulah deskripsi singkat mengenai tulisan ini.

Tiga hari yang lalu saya berdiskusi dengan seorang teman (ia mendalami tentang ilmu Filsafat Islam), awalnya kita membahas tentang poligami dan keinginan serta hasrat yang dimiliki para pria untuk memperistri lebih dari dua. Hingga dari obrolan tersebut, masuklah ke pembahasan tentang "Ayah Bibit dan Ibu Bumi". Ternyata dalam pandangn filsafat cikal bakal makhluk hidupp terutama manusia dianalogikan ibarat "biji padi akan tumbuh apabila ditanam dan dipelihara ditanah yang subur, sembari diberi pemeliharaan yang baik", nah begitulah manusia...

Dan di ilmu saya 'biologi', bahwa suatu organisme/individu baru terbentuk dari peleburan gamet yaitu sel sperma dan sel telur. Sel sperma yang dibawa oleh sang ayah (laki-laki) memiliki peran penting sebagai penyumbang, sedangkan sel telur yang dihasilkan oleh sang ibu (perempuan) berperan sebagai pembentukan. Sel sperma sebagai penyumbang, karena saat menembus sel telur bagian kepala dari sel sperma saja yang masuk dan (nukleus sel sperma dan sel telur) melebur. Sedangkan sel telur sebagai pembentuk karena materi yang ada di dalam sel telur (organel-organel sel) mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan calon organisme baru, selain itu kita tumbuh dan berkembang pun di dalam perut ibu didalam rahim ibu, yang selama 9 bulan kita dibawa kemana pun oleh ibu kita, kita merasakan juga apa yang ibu kita rasakan begitu pula sebaliknya, maka lahirlah kita sebagai manusia sebagai makhluk sempurna dan lebih tinggi tingkatan dibanding makhluk hidup lainnya. Kembali lagi ke wacana "Ayah Bibit dan Ibu Bumi" dalam pandangan filsafat memang benar, bahwa demikianlah asal mula kehidupan kita.

Dan perlu diketahui bahwa, kecerdasan seorang anak akan menurun dari sang ibu. Maka ada sebuah artikel yang pernah saya baca "Cari Suami Tak Pelu Pintar, Kecerdasan Anak Turun dari Ibu", sesuai dengan yang saya jelaskan diatas, subhanallah... begitu besarnya peran seorang perempuan dan ibu yang memberikan pengaruh luar biasa terhadap calon organisme baru (anak).  Maka benar, jika "Ayah Bibit dan Ibu Bumi"..... semoga kita tergolong manusia yang selalu bersyukur, mengingat dari mana kita berasal dari mana kita tumbuh dan dididik, tanpa ayah ibu kita bukan siapa-siapa.



Selamat Malam

Senin, 29 September 2014

Mempermasalahkan MASALAH…



Lucu memang ya, membaca ini “mempermasalahkan masalah”. Tanpa disadari sebenarnya kita sering melakukan hal ini. Iya atau tidak ? Kenapa demikia...

Karena hakikatnya, banyak diantara kita masih sulit untuk mencari solusi terhadap masalah dan masih selalu mengulang atau mengungkit-ungkit masalah, hingga akhirnya yang tadinya memiliki masalah lapar, tapi karena tidak sesuai lauk dan tempat makannya malah tidak jadi makan dan akhirnya malah semakin lapar. Apakah menemukan solusi atau malah menambah masalah dari analogi tersebut ? Pernahkah diantara Anda mengalami demikian ?

Orang hidup selalu memiliki masalah dan bermasalah, dalam hal apapun itu selalu ada masalah dari mulai bangun tidur hingga kembali tidur. Para motivator dan inspirator selalu menasehati untuk berprasangka baik terhadap masalah, mencari solusi terbaik dalam masalah dan nesahat-nasehat positif lainnya. Tapi setelah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari apakah itu mudah ?


Jawabannya, tidak sulit… itu semua kembali ke pribadi seseorang. Mindset diri ? Jika Anda seorang yang praktis dan santai, masalah apapun tidak akan jadi masalah. Jika Anda seorang yang ribet dan ingin kesempurnaan, masalah apapun akan jadi masalah alias dipermasalahkan. Masalah itu bermacam-macam ada yang simple dan kompleks, walau sebenarnya setiap masalah adalah hal simple, jika kita bijak, kemudian kembali lagi bagaimana kita menyikapinya ? Dan ciri orang yang selalu mempemasalahkan masalah adalah ketika ia sering menggunakan kata “tapi”.


Kata “tapi” dalam istilah bahasa adalah kata penghubung, dimana dari analogi masalah. Ketika seseorang selalu beragumen “tapi” artinya masih ada ujung dalam argumennya, yang artinya belum setuju, yang artinya tidak menerima atau ada argument lain yang bukan solusi melainkan mencari-cari kesalahan baru.


Dalam tulisan ini tidak menjudge atau menggurui, saya pun sebagai penulis selalu belajar mengontrol diri
dalam setiap masalah. Satu ajakan positif “Mari belajar memange diri”, karena saya memahami bahwa masalah hadir untuk pendewasaan diri, jiwa, pikiran  serta emosi suatu individu. Karena tidak ada masalah tanpa solusi… seperti gambar disamping coret "masalah" kemudian fokuskan ke "solusi".
 

Antara Want dan Need



Kata syukur atau rasa syukur memang sulit untuk dipahami oleh banyak orang. Ketika nikmat yang diberi hari ini tidak mereka syukuri. Nikmat luar biasa, yang bukan hanya dilihat dari materi (uang) tetapi nikmat segala, nikmat kesehatan, nikmat waktu, nikmat berkumpul dengan keluarga dan orang sekitar dan banyak lain nikmat yang kita dapatkan.

Tiga hari lalu ketika saya mengikuti kuliah filsafat, yang membahas tentang “Want and Need”. Ketika seseorang memilki keinginan yang lebih tinggi dibanding kebutuhan, tidak sedikit dari mereka yang tidak mensyukuri secara utuh dalam hidup. Banyak contoh bukan di sekeliling kita ?
Sebagai contoh, banyaknya para lakon hiburan di Indonesia bahkan belahan dunia lainnya yang mengoperasi bentuk wajah, tubuh mereka karena “berkeinginan” cantik atau tampan  sempurna. Banyak orang yang sudah memiliki sepeda, kemudian ingin punya motor, kemudian ingin punya mobil, padahal sebenarnya itu bukan kebutuhan primer bagi mereka, tetapi berusaha bagaimana agar dapat memenuhi keinginan itu, dan sekali lagi ini tentang “ingin”.

Selain itu, ada juga contoh orang yang memiliki penghasilan Rp 1.000.000,-/bulan tetapi untuk mengikuti “keinginan”nya dapat mengeluarkan uang lebih dari Rp 1.000.000,-. Ada lagi orang yang berpenghasilan cukup misalkan diatas 10juta, akan memiliki keinginan yang besar pula (biasanya orang-orang ini tergolong yang menjaga gengsi), sehingga yang tadinya keinginan bisa jadi berubah peran menjadi kebutuhan. 

Saya sendiri mengalami ini, ketika saya dibayar banyak, saya punya keinginan yang banyak pula sehingga melebihi penghasilan yang saya dapatkan sebelumnya, padahal untuk memenuhi kebutuhan per bulan pun masih ngos-ngosan,hehe..













Rasa syukur dalam kehidupan itu amat penting, sehingga dengan kita selalu bersyukur kita akan merasa cukup, dan tidak ada istilah besar pasak daripada tiang atau keinginan lebih tinggi dibanding kebutuhan. Godaan dan gengsi diluar sana sangat mempengaruhi kita, sekarang tergantung kita untuk memanage keuangan, memange keinginan, memanage kebutuhan yang perlu diprioritaskan terlebih dahulu.

Mari kita belajar bersyukur, karena  “want and need” akan semakin memperjarak selagi kita tidak mampu untuk memanage.
 

Senin, 14 Juli 2014

Mengenal Diri

Waktu itu begitu cepat tanpa disadari sudah melewati 20'an tahun perjalanan saya di dunia. Tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak dan kini dewasa. Perjalanan panjang ini membentuk saya menjadi seorang pribadi dengan beragam karakter, yang dibentuk oleh waktu dan pengalaman hidup.

Pada bulan Januari 1992, saya bayi perempuan pertama yang lahir dari keluarga baru yang mendambakan anak selama kurang lebih 3 tahun pernikahan. Anak yang mungkin paling dinanti oleh pasangan suami istri, beliau adalah ayah dan ibu saya. Ayah saya seorang wiraswasta dan ibu saya seorang guru.

Tumbuh menjadi seorang anak perempuan kecil dari mulai TK hingga SD. Anak perempuan polos tetapi cengeng, yang masih suka bermain dengan teman sebaya, walau sebenarnya saya tidak terlalu banyak teman.

Memasuki SMP saya anak pendiam dan pemalu, mempunyai teman tapi hanya teman sekolah karena tidak memiliki teman dilingkungan rumah maka semasa SMP saya adalah anak rumahan yang banyak melakukan kegiatan dirumah, salah satunya belajar, menonton tv, membantu ibu melakukan pekerjaan rumah dsb.


Waktu awal masuk SMA saya juga masih membentuk karakter yang tidak begitu suka bergaul dengan banyak orang, saya selalu membatasi diri karena satu hal dari masalah keluarga (orangtua). Jika ada teman laki-laki yang mau main kerumah saya selalu memberi banyak alasan, hingga setelah kelas 2 SMA saya mulai bergaul. Di SMA saya dikenal teman-teman seangkatan sebagai "cewek sombong", heem.. tidak tahu ya kenapa bisa demikian, namun memang semasa SMA dulu saya lebih banyak dikenal orang dan disapa teman tapi saya sendiri tidak tahu namanya siapa, dia kelas berapa, rumahnya dimana dan anak siapa.

Memasuki kuliah, tinggal bersama keluarga (ayah). Dengan pola kehidupan yang sangat berbeda dengan dirumah orangtua, disini saya harus terbiasa dengan kondisi lingkungan, suasana, aturan semua harus saya adaptasikan ke diri. Dengan keadaan yang demikian karakter saya yang dulu lebih menutup diri semakin menutup diri, melakukan dan mengatasi segala sesuatu sendiri, lebih banyak memendam daripada berbicara, hingga saya lebih bisa mencurahkan segala yang saya rasakan dan pikirkan dengan menulis.


Bertahun-tahun lamanya hingga saya lulus kuliah, sedikit demi sedikit karakter itu mulai berubah. Ketika saya memasuki dunia kerja sebagai tentor dan mulai berinterkasi dengan banyak orang, perlahan karakter ini mulai terarah. Kapan saya diam, dengan siapa saya harus banyak berbicara, apa saja yang harus saya ceritakan dan ungkapkan, dan bagaimana saya bersikap.

Semua karakter yang saya miliki mengikuti aliran waktu dan pengalaman hidup. Setiap orang memiliki karakter yang berbeda dan pembentukan karakter itu dipengaruhi oleh lingkungan terutama keluarga. Anak merekam apa saja, dan anak menilai dari apa yang di lihat dan di dengar, ketika anak mulai bisa menilai namun apa yang ingin disampaikan tidak bisa diungkapkan maka karakter anak akan terbentuk ketika anak mulai berfikir dan memendam segalanya.



Berubah dan mengubah sesuatu itu memang tidak mudah. Saya hanya MAU belajar belajar belajar dan terus belajar. I'm not perfect but I could be the best person.



Sabtu, 05 Juli 2014

Pertanyaan

Kesekian kalinya orang lain menanyakan tentang status sosial dan strata pendidikan kami. Pertanyaan ini yang dulu sering saya lontarkan dan diskusikan dengan orang lain baik teman, kerabat maupun keluarga, sekarang berbalik orang lain yang bertanya duluan mengenai seorang "ia" kepada saya.

Pertanyaan pertama, "Apa yang kamu nilai dari seorang "ia" sih, sehingga kamu tertarik dengannya (kita bukan bicara fisik ya)?. Tersenyum dan menjawab..... "Dari dulu hingga sekarang saya melihat value dan potensi yang ia miliki berbeda dengan laki-laki yang pernah saya temui sebelumnya."
Pertanyaan kedua, "Heem... bukannya ia hanya lulusan SMA dan kamu S1, apa tidak takut dengan pandangan orang ?". Saya menjawab, "Memang dulu saya sempat tidak yakin dan pernah 3-5 bulan meragukan apa yang dirasa dan dijalani, selalu menuntut dan memaksa apa yang saya inginkan. Setelah itu, saya lelah sendiri kemudian berpikir kembali kenapa saya harus memaksa ketika itu tidak mengubah apapun dalam hubungan kami, ia masih tetap dengan pandangannya dan ia pun punya pilihan. Saya hanya menjalani dan berencana, tentang hasil dan keputusan Tuhan yang lebih tahu".
Pertanyaan ketiga "Lalu bagaimana pendapat keluarga terutama orangtua?". Saya menjawab, "Orangtua memang meragukan karena orangtua selalu ingin yang terbaik bagi anaknya terutama anak perempuan, selalu ingin mendapat yang sepadan dan tidak salah pilih".

Kemudian, saya balik bertanya "Lalu, apa yang anda nilai juga dari sosok ia, apakah setuju ?". "Ia sudah seperti adik sendiri, selama aku kenal ia adalah laki-laki yang pantang menyerang dan bertanggungjawab, jika ia pemalas aku tidak akan setuju jika kamu memilih ia, karena hubungan ini yang menjalani kalian, oranglain hanya bisa berbicara, jadi yang lebih tahu apa yang terbaik bagi kalian adalah kalian sendiri".

Diakhir obrolan "Apa siap nikah muda ?". Saya menjawab, "Ketika memang sudah waktunya untuk saya menikah, kenapa tidak.. Artinya Tuhan telah memberi saya jodoh." Pernyataan lagi "Iya, kenapa takut.. justru segeralah... ketika menikah rejeki kalian pasti dipermudah, jangan takut, jika terlalu lama pacaran dan malah tidak jadi menikah, lebih sakit".
Saya tersenyum... dan lagi-lagi tersenyum.


Dalam doa selalu memohon agar "ia" diberi kelapangan pikiran untuk mempertimbangkan apa yang pernah saya minta dulu, saya selalu berusaha mendukung apa yang ia lakukan walau di dalam hati kecil terus berharap ia akan mewujudkan keinginan yang tertunda yaitu "sekolah".


Terimakasih Obrolan Sore Ini.